Polemik Pengembangan Karir Pustakawan

Belakangan ini, linimasa media sosial dalam jejaring saya (penulis, -red) dihiasi oleh berbagai share informasi tentang nasib profesi pustakawan utama di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terancam down grade (“turun kelas”) dan juga nasib pustakawan madya yang tak sanggup ‘naik kelas’ ke jenjang pustakawan utama. Hal tersebut mengiringi dengan tersebarnya Surat Edaran Nomor 102318/A2.3/KP/2017 tentang Penataan Administrasi Jabatan fungsional di Lingkungan Kemenristek dan Dikti yang ditandatangani Kepala Biro SDM tertanggal 1 November 2017.

Isu ini menjadi semakin ‘seksi’ ketika diskusi melebar kepada apakah kebijakan tersebut juga berdampak pada nasib pustakawan, khususnya yang berada di unit kerja LPNK (Lembaga Pemerintah Non-Kementerian) koordinasi Kemenristekdikti dan pustakawan Kementerian/Lembaga lainnya pada umumnya, bagaimana keterkaitan antara peta jabatan fungsional pustakawan dengan analisis beban kerja, dan segenap pesimisme para pustakawan di tengah dinamika organisasi yang semakin kurang aware dengan fungsi unit perpustakaan atau bahkan kinerja pustakawan itu sendiri.

Menyikapi isu tersebut, Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPKI) membuat sebuah Kuliah Whatsapp (Kulwapp), kuliah online memanfaatkan media Whatsapp, dengan menghadirkan narasumber Aba Subagja, S.Sos., M.AP (sekretaris Deputi Bidang SDM Aparatur, Kementerian PAN-RB). Kulwapp Kepustakawanan Rabu malam 7 Februari 2018 ini dimulai dengan paparan singkat oleh narasumber mengenai kondisi terkini terkait perlakuan jabatan fungsional dalam peta jabatan di instansi yang didasarkan pada analisis beban kerja.

“ Temen-teman saat ini ada perbedaan perlakuan terkait dengan kedudukan Jabatan Fungsional dalam peta jabatan, dasarnya ada kebutuhan dan beban kerja. Hal ini karena memang adanya evaluasi jabatan sehingga JF harus juga dipetakan. Artinya yang diukur dengan faktor jabatan, akan menentukan keberadaan JF dalam organisasinya sesuai dengan butir kegiatan dalam setiap Permenpan 24/2014. Apakah butir kegiatan utama pustakawan bisa diimplementasikan di Perguruan Tinggi hal itu yang harus dilihat…”, papar Aba Subagja.

Karena isu ini memang sedang cukup ‘panas’, pada sesi diskusi pun berlangsung menarik. Berbagai pertanyaan terlontar dari peserta kulwapp.

“Fungsional pustakawan di Kemenristekdikti tidak bisa mencapai ahli pustakawan utama, pertimbangannya apa ya, Pak?” Tanya Untari, pustakawan LIPI.

Aba menanggapi,”Seharusnya jika pelaksana jabatan fungsional utama ada kegiatannya, maka tidak ada masalah. Namun pada saat evaluasi jabatan mungkin beban kerja utama tidak terpenuhi sehingga di peta jabatan menjadi tidak muncul.”

Langsung pada isu terkait, Arif dari Kementerian PUPR bertanya,” Apakah kemungkinan dari instansi lain pun akan mengikuti Kemenristekdikti yang tidak boleh mencapai pustakawan utama?”

“Tidak harus mengikuti, Pak karena jika memang ada kegiatannya, maka peta jabatannya dapat menyesuaikan”, terang Aba.

Hendra dari Komisi ASN menanggapi,” Bagaimana nasib teman-teman yang berkarir di pustakawan jikalau dari segi struktur hanya setingkat jabatan pengawas agar dapat terus meniti karir di pustakawan hingga pustakawan utama?”

“Harus ada sistem karirnya yang ditetapkan dalam sebuah pola. Artinya, ketika akan naik jenjang bisa berpindah unitnya. Itu yang saat ini kita kembangkan untuk karir jabatan fungsional dan di beberapa tempat sudah dilaksanakan. Kalau administator bisa sampai madya,” Aba melanjutkan paparannya.

Terkait dengan peta jabatan, Ahmad Syaikhu dari Pustaka Bogor bertanya,” Kapan masa berlaku sebuah penetapan peta jabatan?”

“Peta jabatan berlaku sampai ada perubahan organisasi yang baru atau di evaluasi jabatan ulang sesuai kebutuhan. Sementara itu, yang merumuskan adalah unit Ortala (organisasi dan tata laksana, -red) masing-masing K/L”, terang Aba.

Diskusi mengenai pengembangan karir jabatan fungsional pustakawan ini sangat menarik dan menyisakan banyak pertanyaan di benak para peserta diskusi. Namun demikian, dari Kulwapp ini dapat kami simpulkan bahwa Surat Edaran Nomor 102318 dari Kemenristekdikti sementara ini baru berdampak pada nasib pustakawan di lingkungan PTN. Berdasarkan informasi dari rekan-rekan pustakawan PTN, isu ini pun tengah memanas dan bersama-sama dengan asosiasi profesi dan forum pustakawan mereka tengah mengadvokasi kebijakan tersebut untuk dapat ditinjau ulang.

Namun demikian, isu ini sebenarnya juga menjadi isu sekalian pustakawan, baik di PTN, K/L bahkan mungkin juga di instansi swasta. Mulai dari isu unit perpustakaan yang dipandang sebelah mata, profesi pustakawan yang dicap hanya berurusan dengan buku, hingga inovasi para pustakawan yang hanya dianggap angin lalu oleh manajemen, dan segenap isu lainnya yang rasa-rasanya kembali ke isu mendasar. Jika kondisi ini terus berlanjut, ke depan fenomena peng’kerdil’an profesi dan unit kerja ini akan semakin akut. Perlu ada perumusan solusi bersama, mungkin sekelas rembug nasional dari asosiasi profesi pustakawan khususnya, didukung oleh forum-forum perpustakaan dan juga akademisi di bidang perpustakaan untuk dapat merumuskan solusi dan bukan hanya sekedar menginvetarisir masalah yang dialami oleh pustakawan. Langkah tersebut sudah semestinya menjadi perhatian bersama… (Muhammad Bahrudin/Pusido-BSN)

 

Notulensi Kulwapp selengkapnya downlod di sini